A. PENGERTIAN MASKAWIN
Maskawin
adalah sesuatu (harta benda atau suatu kemanfaaatan) yang menjadi kewajiban
seseorang lelaki untuk diberikan kepada orang wanita, sebab ikatan tali nikah,
wathi’ syubhat dan meninggal.
B. LANDASAN HUKUM
Landasan-landasan hukum yang menjadi
pijakan dari maskawin ini adalah sebagai berikut :
نِحْلَةًقَاتِهِنَّ صَدُالنِّسَاءَوَآَتُوا
Berikanlah
maskawin ( mahar ) kpada wanita (yang kamu nikahi)
Sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan (QS.
An-Nisa’ [4] : 4)
فِ بِالْمَعْرُو
أُجُورَهُنَّ وَآَتُوهُنَّ
Dan
berilanlah maskawin mereka menurut yang patut.(QS > An-Nisa’ [4]: 25)
Rasullah *
bersabda kepada orang yang hendak menikah (dan tidak memiliki maskawin),
“Berilah ia maskawin walau terdiri dari cincin besi. “ (HR. bukhari).
Dari ayat dan hadist di atas , kita dapat
memperhatikan bahwa ada beraam istilah yang di gunakan oleh sayara’ untuk
mengungkapkan maskawin (shadaq), diantaranya adalah nihlah dan “atiyah.
Shadaq di sebut nihlah dan ‘Atiyah,
padahal secara lahiriah, ia merupan imbalan atas pemanfa’atan suami terhadap
‘kepunyaan’ sang istri, sebab realitanya keduanya memang sama-sama meresahkan
lazatnya bersetubuh. Bahakan , kenikmatan yang di dapat sang istri lebih banyak
dari pada yang di peroleh suami, sebab birahi kaum wanita lebih kuat di banding
kaum pria.
Dari itu maka tidak heran jika ada yang
berpendapat, bahya wanita dapat merasakan tiga kenikmatan sekaligus saat
melakukan hubungan badan dangan lelaki, sedangkan lelaki dapat merasakan dua
kenikmatan saja. Tiga kenikmatan yang dirasakan wanita adalah keluar masuknya
Zakar dalam kemaluannya, kelaur sepermanya sendiri, masuknya seperma sang suami
kedalan rahimnya. Sedangkan sang lelaki hanya dapat merasakan dua kenikamatan ;
yaitu keluar masuknya zakar dan keluarya sepermanya sendiri.
Jadi, sebenarnya kewajiban membayar
maskawin bukan sebagai imbalan atas kenikmatan yang di dapatkan suami, sebab
yang dapat kenikmatan lebih banyak justru si istri. Akan tetapi pemberian maskawin
merupakn kemuliaan dan pemberian dari ALLAH * Terhadap wanita, melalui pria
yang telah menjadi suaminya. Hal demikaian dengan tujuan agar terlahir rasa
saling cinta dan sayang karenanya.
C. MEMBAYAR MASKAWIN
Pada dasarnya , yang berkuwajiban membayar
maskawin adalah suami (yang di berikan kepada istri). Namun dalam perkembangan
selanjutnnya, ada juga yang kemudian kewajiban membayar maskawin itu menjadu
tanggung jawab (kewajiban ) istri (untuk di berikan kepada suaminya), sebagai
akan kami jelaskan nanti.
Dalam praktiknya, seorang suami di sunatkan
tidak melakukan hubungan seksual dengan istri seelum memberikan maskawinnya.
Namun ada juga yang bependapat, bahwa menyerahkan maskawin sebelum melakukan
hubunga intim adalah wajib.
Sementara itu, mengenai nilai nominal yang
harus di bayarkan, sebetulnya syara’ tidak menentukan batas minimal dan
maksimalnya, bahkan setiap sesuatu yang bisa di jadikan tsaman juga bisa di
jadikan mahar. Adapun kesunatannya, bia mengikuti pendapat yang paling ringan,
Berarti minimal maskawin adalah 25,2 gr perak, merupakan hasil perkalian
sepuluh[10] dengan dua koma liama puluh dua (2,52). Sedangkan maksimalya adalah
1.160.gr, sama dengan 1,160 kg. Jika di krus dengan uang. Misalnya satu gram
Perak bernilai Rp 3.000, berarti minimalnya maskawin sama dengan Rp 75.600,
sedangkan maksimalnya adalah 3.480.000.
Namun demikian, sunat bagi wanita untuk
tidak meminta maskawin yang mahal. Sebab wanita yang murah maskawinnya adalah
wanita yang banyak berkahnya. Sayidina Umar * pernah menegaskan “ Janganlah
kalian mempermahal maskawin kalian.”
D.
PENYEBUTAN
DALAM AKAD
Pada dasarnya, penyebut maskawin dalam akad
nikah adalah sunnat. Sebab Rasul * selalu menyebut setiap kali beliau menikah
dan pada saat menikahkan semua putrinya. Di samping itu juga di nyatakan bahwa
penyebutan itu di maksutkan untuk meminimlisir terjadinya sengketa antara antar
suami dan istri. Ditinjau dari sudut pandang lain, hukum menyebut maskawin
dalam akad ada yang wajib dan ada yang pula yang haram.
Maskawin wajib di sebutkan dalam akad nikah
dalam tiga permasalahan: Pertama , Calon istri belum mendapat legalitas syara’
untuk menggunakan hartanya sendiri (mahjur ‘alih), baik di sebabkan masih
bocah, gila, dungu, atau lainnya. Dan sebelum akad, sudah ada kesepakatan
bersama suami bahwa yang akan di berikan adalah maskawin diatas standar umum
yang berlaku (mahar al-misl). Jika dalam akad tidak menyebutkan mas kakwin, maka
yang menjadi kewajiban suami adalah maskawin standar umum (mahar al-misl). Hal
ini tentu merugikan terhadap calon istri. Maka dalam akad nikah, Wali nikah
harus (baca: wajib) menyebutkan maskawin yang sudah di sepakati.
Kedua, wanita calon istri sudah mendapat
legalitas syara’ untuk menggunakan hartanya sendiri (bukan mahjur ‘alaih), dan
telah memberi izin kepada walinya serta menyerahkan urusan mahar kepada wali,
dan telah menjadi kesepakatan antara suami dan wali membayar mahar di atas mahr
al-mitsl. Jika demikian, maka wali wajib menyebutkanmaskawin yang suda di
sepakati itu di dalam akad. Sebab jika tidak disebut, maka yang menjadi
kewajiban suami adalah mahar al-misl.
Ketiga , suami belum mendapat izin dari
syara’ untuk menggunakan hartanya sendiri (mahjur ‘alih) Dan sebelum akad nikah
, sudah ada kesepakatan, bahwa maskawin yang akan di berikan adalah di bawah
standar umum (mahr al-misl). Kalau tidak di sebutkan dalam akad nikah, maka
suami wajib membayar mahr al-misl, dan hal ini tentunya memberatkan pada suami.
E.
KLASIFIKASI
MASKAWIN
Ditinjau dari aspek penyebutan dan tidaknya
(pada waktu akad), maskawin terbagi menjadi dua : mahr al-musamma da mahar
al-mitsl.
Mahr al-musamma adalah mahar atau maskawin
yang di sebutkan dalam akad.
Maskawin tipe
ini , tidak dapat di gugurkansebab perceraian yang terjadi setelah suami
melakukan hubungan badan dengan sang istri.
Sedangkan Mahr al-mitsl adalah maskawin
yang tidak di sebutkan dalam akad. Atau di sebutkan namun tidak memenuhi
kriteria kreteria maskawin.
Rujukan yang dapat di jadikan standar
ukuran untuk menentukan mahr al-mitsl adalah wanita dari kerabat sang istri.
Kalau tidak ada, maka dicarikan wanita setempat yang sama dalam kecantikan atau
sifat lainnya.
Secara global, hal-hal yang dapat mewajibkan
membayar mahr al-mitsl ada 4 : 1) nikah , 2) wathi’ , 3) mencabut penyaksian,
dan 4) menyusui. Rincian dari empat faktor tersebut adalah sebagai berikut:
NIKAH
Nikah mwajibkan mahar al-mitsl dalam
beberapa permasalahan :
·
Dalam
masalah mufawwidhah, seteleh melakukan hubungan badan dengan istri atau salah
satu dari suami-istri, atau belum melakukan hubungan badan, salah satu dari
suami-istri meninggal sebelum menetapkan beberapa maskawin yang harus di
berikan.
·
Mahar
yang di sebut dalam akad, ternyata fasid ( tidak sesuai dengan ketentuan mahar
menurut pandangan fikih), semisal sebab merupan barang haram, hasil ghasab,
tidak di ketahui perkiraannya, atau merupan benda yang sudah di tentukan
(mu’ayyan/sudah nampak mata oleh suami-istri) dan rusak sebelum diserahkan
kepada sang istri.
·
Sebab
ada khiyar (boleh pilih tentang beberapa ketetapan maskawinya)
·
Menjanjikan
maskawin sebuah benda yang di ukur dengan sifat, dan ternyata ketika di berikan
tidak sesuai dengan yang di janjikan.
WATHI’
Wathi’ menjadi penyebab
wajibnya membayar mahr al-mitsl apabila wathi’-nya bersetatus syubhat (ketika
wathi’ tidak ada kejelasannya apakah ada hubungan suami istri atau tidak)
seperti menduga istri atau suami sendiri, lalu di setubuhi, dan ternyata ia adalah
orang lain.
Syubhat terbagi menjadi dua macam :
Pertama,
dari ;pelaku . maksutnya , wanita atau pria yang sedang melakukan hubungan
badan, tidak mengetahui kalau sebenarnya di antara kedua tidak ada ikatan tali
nikah yang memperbolehkan melakukan hubungan badan ( yang laki mengira wanita
itu istrinya dan yang wanita mengira itu suaminya, dan ternyata dugaannya
keliru).
Kedua,
serupa dari aspek pendapat imam, seperti melakukan hubungan badan dengan wanita
yang sudah dinikahinnya. Tanpa menggukan waali dan saksi. Praktik ini di
benarkan oleh salah satu imam madzab (Dawud adz-Dzahiri). Kalau mengikuti
pendapatnya, maka melakukan hubungan badan dengan istri tidak dihukumi halal
dan tidak haram.
MENCABUT
PENYAKSIAN TALAK
Mencabut persaksian talak dapat menyebabkan
wajibnya membayar mahr al-mitsl dalam kasus berikut : ada dua orang bersaksi di
hadapan hakim, bahwa telah terjadi perceraian antar suami istri (Ramli Dan
Ramlah). Berdasarkan keterangan tersebut, hakim memutuskan ikatan pernikahan
antara Ramli dan Ramlah. Setelah di cerai atas vonis hakim. Ternyata dua orang saksi tersebut mencabut
kembali kesaksiannya , maka kedua oarang
saksi tersebut wajib membayar mahr al-mitsl kepada pihak suami (Ramli), dengan
alasan bahwa mereka berdua telah menghalangi untuk mendapatkan hak-haknya atas
sang istri.
MENYUSUI
(RADHA’)
Radha’ dapat menyebabkan wajibnya membayar
mahr al-mitsl dalam pemasalahn suami memiliki istri lebih dari satu, sedangkan
di antara istrinya ada yang sedang
menyusu (di bawah dua tahun) . kemudian istri yang sudah dewasa menyusui istri
yang masih banyi tersebut. Maka dengan demikian terjadi hubungan radho’ antara
suami, istri dewasa dan istri bayi tersebut. Maka secara otomatis pernikahannya
rusak, dengan alasan ada hubungan radha’ tersebut. Berarti suami tidak bisa mendapatkan
hak-haknya dari istri bayinya. Maka istri yang menyusui itu wajib memberikan
separuh mahr al-mitsl-nya kepada suaminya, Dan suami wajib memberi separuh
maskawin pada istri yang kecil. Sebab terjadi perceraian sebelum melakukan
hubugan badan.
F.
KLASIFIKASI
CALON ISTRI
Dilihat dari aspek pemasrahan terhadap
walinya atau tidak, wanita yang di nikahkan ada yang di kenal dengan
istilah mufawwidhah dan bukan
mufawwidhah. Istilah mufawwidhah terbagi menjadi dua ; pertama, menyerahkan
kepada wali atau orang lain agar menentukan beberapa maskawin yang harus di
berikan calom suami kepada wanita /calon istri. Kedua, wanita yang akan di
nikahkan bilang kepada walinya , agar di nikahkan tanpa meminta maskawin dari
calon suami.
Dalam permasalahan yang kedua , suami tetap
wajib memberikan maskawin denagan salah satu dari tiga sebagai berikut :
·
Suami
sendiri telah menentukan beberapa maskawin yang akan di berikan kepada
istrinya,
·
Hakim
menetapkan ukuran maskawin standar umum (mahr al-mitsl) yang harus di berikan suami tehadap sang
istri, bila terjadi sengketa antara wali dari wanita dan suami.
·
Suami
wajib memberikan maskawin standar umum jika melakukan hubungan hubunagan badan
dengan istrinya sebelum memberikan ketetapanbeberapa maskawin yang akan di
berikan kepadanya, atau salah satu dari suami istri ada yang meninggal dunia
sebelumada ketetapn maskawin suami.
Dalam masalah mufawwidhah, suami yang
mencerai istrinya sebelum melakukan hubungan badan dengannya, berkewajiban
membayar separuh maskawin yang sudah ditetapkan sendiri atau oleh hakim. Jika
terjadinya perceraian sebelum ada ketetapan mahar, baik darinya atau dari
hakim, maka tidak berkewajiban membayar apapun, tetapi wajib memberi
mut’ah/konpensasi kepada istri yang di cerainya.
Istri mempunyai hak menolak jakan untuk
melakukan hubungan badan atau yang lain pada suami yang belum menetapkan
maskawin, atau sudah menetapkan maskawin kontan yang masih akan di berikan
(belum di laksanakan).
G. BAHAN MASKAWIN
Dalam fikih terdapat kaidah umum mengenai
apakah sesuatu yang dapat di jadikan sebagai mas kawin? Kaidah ituadalah, bahwa
setiap sesuatu yang dapat dijadikan sebagai tsaman (alat penukaran) dalam jual
beli atau akat sewa, juga dapat di jadikan sebagaimaskawin. Menurut pendapat
imam az-Zarkasyi, pakaian milik calon suami yang hanya mencakupi untuk menutup
aurat, tidak boleh di jadikan sebagaian maskawin. Bahkan suami yang memiliki
pakaian yang hanya untuk menutupi aurat tidak boleh di buat untuk membayar mas
kawin, namun ia di perbolehkan memberikan maskawin beruapa kemanfaatan. Hal ini pernah terjadi pada
zaman nabi, bahwa ketika salah satu sahabat akan menikahh dan di tanya tentan
maskawinnya, dia bilang hanya punya pakaian yang melekat di badannya.
Akhirnya nabi
bertanya, apakah dia dapat mengajar al-Qur’an? Sahabat tersebut menjawab
bisa. Lalau mengajar al-Qur’an itulah
yang kemudian dijadikan sebagai maskawin, sebab itu merupakan suatu
kemanfaatan.
Menurut imam Abu Ishaq asy-Syirazi dalam al-Muhadzdzab, boleh
memberikan maskawin berupa manfaat (jasa) kepada istrinya. Seperti mengajarinya
al-Qur’an, menjadi pelayan istri dalam jangka waktu tertentu, atau jasa apa
saja yang telah mendapat legalitas dari syariat. Pendapat ini di dasarkan pada
ayat al-Qur’an sebagai berikut,
Berkatalah
dia (Syuiaib) : “sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denaganku delapan
tahun”. (QS. AL-QASHASH [28]:27) .
Dalam ayat tersebut
di jelaskan , bahwa mengembala di jadikan sebagai maskawin Nabi Musa , terhadap
putri Nabi Syu’aib.
Manfa’at, dapat di jadikan maskawin dengan
syarat-syarat berikut :
·
Ma’lum,
di ketahui oleh suami dan walinya istri,
·
Boleh
di sewa, seperti magajal al-Qur’an,
·
Suami
dapat melakukan sendiri, kalau di dalam akad memang di sayaratkan harus suami
yang melakukannya, atau menyewa orang lain, kalau tidak di syaratkan harus
suami yang melakukan.
Ketentuan – ketentuan lain dari maskawin
adalah tidak terdiri dari barang haram, seperti minuman keras , mengajar kitab
injil, Mengajarkan al-Qur’an kepada orang kafir yang tidak senang pada agama
islam dan lain sebagainnya, Demikian juga, Maskawin tidak boleh terdiri dari
sesuatu yang tidak ada, tidak di ketahui ,dan tidak dapat di serahkan.
H. BEBERAPA KONSEKWINSI
Perceraian sebelum terjadinya hubungan
seksual antara suami dan istri dapat mengurangi separuh dari kewajiban maskawin
yang harus di bayarkan. Sedangkan perceraian yang di sebabkan istri dapat menggagalkan
semua mas kawin
Kalau terjadi perceraian antara suami istri
setelah melakukan hubungan seksual, dan sebelum memenuhi maskawin yang berupa
pengajar al-Qur’an terhadap istri, menurut pendapat yang pertama, suami harus
mengajar melalui belakang satir, dan menurut pendapat kedua, suami dilarang
mengajarnya sekalipun di balik satir, Sebab tidak menutup kemungkinan
terjadinya fitnah. Sedangkan menurut qaul jadid dari imam Syafi’i, suami harus
membayar ujrat al-mitsl/upah standar untuk menagajar.
Selasa, 29 November 2016
artikel
0 Response to MAS KAWIN ( SHADAQ )
Posting Komentar